Selasa, 28 Juni 2011

Sejarah Kelam Pulau Dewata

Siapa yang tidak kenal dengan pulau Bali. Salah satu pulau kebanggaaan Indonesia yang terkenal dengan sebutan Pulau dewata. Pulau ini banyak menyimpan berbagai eksotisme budaya dan beragam keindahan alam yang sangat memukau. Sehingga semakin mengukuhkan eksistensi pulau ini sebagai salah satu pulau terbaik yang ada di Indonesia khususnya karena beragam macam tempat wisata yang menarik dan unik. Kebesaran pulau dewata akan keindahan pariwisatanya ini terbukti dari semakin banyaknya wisatwan baik lokal maupun mancanegara untuk berbondong-bondong menikmati eksotisme dan keindahan alam yang ada di dalamnya. Namun sayangnya dibalik keindahan dan keeksotisan pulau dewata ini menyimpan sejarah kelam yang sangat mengerikan. Sejarah yang kemungkinan sangat sedikit masyarakat yang mengetahuinya, bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Sejarah kelam tersebut terkait dengan tragedi perbudakan dan penjualan manusia yang terjadi di pulau dewata tersebut. 
Buku ” Budak Pulau Surga” ini mencoba untuk kembali mengisahkan serta menelusuri berbagai seluk-beluk dan kisah menyakitkan yang terjadi di Pulau Dewata jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kisah tragis yang hingga sampai detik ini menyimpan misteri dan banyak terdapat berbagai pendapat dalam menyikapinya.  Selain itu, buku ini juga mencoba menghilangkan mitos yang selama ini sering kali dijadikan sebagai patokan dalam masalah perbudakan yang terjadi sekitar abad 17-an. Abad dimana sejarah kelam dan berbagai macam tindak kekejian mulai tumbuh dan berkembang dengan subur di wilayah pulau dewata dan sekitarnya.
Sejarah mencatat sesudah tahun 1950-an, pulau dewata dan masih berbentuk kerajaan mulai sering terjadi adu kekuasaan serta kekuataan antararaja. Dalam pertempuran yang berlangsung, penduduk kerajaan yang dijadikan sebagai barang komoditi. Laku dijual, dijadikan hadiah, pembayar utang, tanda terimakasih dan yang lainnya. Dalam berbagai kejadian perang dipulau dewata, tujuan berperang lebih diutamakan untuk memperebutkan penduduknya. 
Pada masa itu, para bendoro yang berkuasa selalu mempunyai banyak budak. Peperangan yang diciptakan bukan untuk memperluas kekuasaan,  akan tetapi lebih untuk mencari budak-budak baru yang laku dijual. Menurut mereka tidak ada manfaatnya menguasai wilayah yang luas jika tidak ada manusianya. Sehingga yang menjadi urgen adalah seberaa banyak penduduknya yang bisa dimanfaatkan. Dengan berbekal pendapat yang semacam inilah kisah perdagangan dan perbudakan di pulau dewata semakin menjadi sentral utama.
Pemikiran semacam ini ternyata sudah mendarah daging dan menjadi pola fikir para bendoro dan penguasa pada masa itu dari ujung utara hingga selatan. Makin banyak bendoro menguasai wilayah yang banyak manusianya, maka makin banyak penyoroan ataua kawula. Mereka tak ubahnya menjadikan para penduduk jajahannya sebagai budak, jika keadaan memaksa atau jika tuannya menginginkan bisa saja dijual atau dihadiahkan kepeada orang lain sesuai dengan kehendak yang empunya. Bahkan budak dijadikan sebagai sumber pendapatan kaum bangsawan dan raja-raja yang memberi mereka kehidupan penuh dengan kesenangan.
Pada tahun 1828 masih terdapat sebanyak 6.170 budak di batavia. Tahun 1844 maish terdapat 1.365 budak di batavia. Di pulau dewata, pembesasan budak baru berlangsung sekitar tahun 1877.  (halaman 5)
Rata-rata kebanyakan para budak yang berasal dari bali dan dari golongan sudra ini menerima statusnya sebagai sebuah nasib yang memang diberikan kepadanya. Bagi kawula nasib sudah ditentukan oleh yang diatas. Sehingga hidup hanya sebatas menjalani dan menerima apa yang digariskan. Atau lebih dikenal dengan Karmapala, hukum karma. Orang-orang jahat hanya akan menerima akibat kejahatan mereka. Begitupula dengan orang yang berbuat baik. Mungkin ini sudah menjadi mitos yang sulit dihilangkan hingga detik ini.
Namun di dalam buku ini semua mitos yang demikian mengerikan mencoba untuk digugat atau minimal tidak ditelan dengan mentah-mentah. Kisah yang diceritakan dalam Soegiyanto Sastrodiwiryo ini menolak dengan tegas nasib pasif terhadap prilaku perbudakan yang mereka alami. Mereka dengan lantang menolak akan eksistensi hukum karmapala yang diyakini sebagai karma dari sang pencipta. 
Menurutnya yang terjadi dalam diri manusia bukan merupakan akibat perbuatan masa lalu, melainkan baru sebatas sebab. Meskipun statusnya sebagai budak, mereka harus berbuat, menciptakan karmapalanya sendiri. Berbuat, lalu tunggu saat-saat tepat. Sebab menurut yang dikisahkan dalam novel ini karmapala bukan hanya hasil perbuatan, melainkan perbuatan itu sendiri.  Hanya berbuat, dan selebihnya bukan lagi urusan manusia.
Budak secara harfiah berarti orang yang terampas kemerdekaannya. Sedangkan kemerdekaan manusia terbagi menjadi dua : kemerdekaan raga dan jiwa. Kombinasi dari dua kategori ini menghasilkan empat kuadran manusia; orang yang tidak merdeka raga dan jiwa; orang yang raganya tidak merdeka tetapi jiwanya merdeka; orang yang raganya merdeka tetapi jiwanya tidak dan orang yang merdeka jiwa dan raga. Jadi budak menurut mereka hanya sebatas panggilan raga semata, penamakan diri belaka. Jiwa dan sikap tetap ksatria. Ksatria yang selalu melawan. Siapa yang menjadi budak ketakutakannya, maka ia akan menjadi budak seluruh dunia. 
Manusia akan merdeka jika mampu menaklukan duan musuh utama : rajas dan tamas, nafsu dan keinginan bersenang-senang tanpa usaha, belenggu kebodohan, ketidakpedulia, ketidakinginan untuk berbuat demi kebahagiaan bersama. Saat itulah manusia numadi. Lahir kembali, untuk kemudian memilih sebagai penjelmaan dengan mempertahankan harga dirinya.

3 komentar: